Teori – Teori Tentang Pengakuan
Salah satu materi penting dalam pengajaran hukum internasional adalah masalah pengakuan (recognition). Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah ada atau tidaknya pengakuan membawa suatu akibat hukum terhadap status atau keberadaan suatu negara menurut hukum internasional? Dalam hubungan itu ada beberapa teori :
- Teori Deklaratoir
- Teori Konstitutif
- Teori Pemisah atau Jalan Tengah.
Menurut penganut Teori Deklaratoir, pengakuan hanyalah sebuah pernyataan formal saja bahwa suatu negara telah lahir atau ada. Artinya, ada atau tidaknya pengakuan tidak mempunyai akibat apa pun terhadap keberadaan suatu negara sebagai subjek hukum internasional. Dengan kata lain, ada atau tidaknya pengakuan tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban suatu negara dalam hubungan internasional.
Berbeda dengan penganut Teori Deklaratoir, menurut penganut Teori Konstitutif, pengakuan justru sangat penting. Sebab pengakuan menciptakan penerimaan terhadap suatu negara sebagai anggota masyarakat internasional. Artinya, pengakuan merupakan prasyarat bagi ada-tidaknya kepribadian hukum internasional (international legal personality) suatu negara. Dengan kata lain, tanpa pengakuan, suatu negara bukan atau belumlah merupakan subjek hukum internasional.
Karena adanya perbedaan pendapat yang bertolak belakang itulah lantas lahir teori yang mencoba memberikan jalan tengah. Teori ini juga disebut Teori Pemisah karena, menurut teori ini, harus dipisahkan antara kepribadian hukum suatu negara dan pelaksanaan hak dan kewajiban dari pribadi hukum itu. Untuk menjadi sebuah pribadi hukum, suatu negara tidak memerlukan pengakuan. Namun, agar pribadi hukum itu dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dalam hukum internasional maka diperlukan pengakuan oleh negara-negara lain.
Jenis – Jenis Pengakuan
Ada dua macam atau jenis pengakuan, yaitu :
- Pengakuan de Facto; dan
- Pengakuan de Jure.
Pengakuan de facto, secara sederhana dapat diartikan sebagai pengakuan terhadap suatu fakta. Maksudnya, pengakuan ini diberikan jika faktanya suatu negara itu memang ada. Oleh karena itu, bertahan atau tidaknya pengakuan ini tergantung pada fakta itu sendiri, apa fakta itu (yakni negara yang diberi pengakuan tadi) bisa bertahan atau tidak. Dengan demikian, pengakuan ini bersifat sementara. Lebih lanjut, karena sifatnya hanya memberikan pengakuan terhadap suatu fakta maka pengakuan ini tidak perlu mempersoalkan sah atau tidaknya pihak yang diakui itu. Sebab, bilamana negara yang diakui (atau fakta itu) ternyata tidak bisa bertahan, maka pengakuan ini pun akan berakhir dengan sendirinya.
Berbeda dengan pengakuan de facto yang bersifat sementara, pengakuan de jure adalah pengakuan yang bersifat permanen. Pengakuan ini diberikan apabila negara yang akan memberikan pengakuan itu sudah yakin betul bahwa suatu negara yang baru lahir itu akan bisa bertahan. Oleh karena itu, biasanya suatu negara akan memberikan pengakuan de facto terlebih dahulu baru kemudian de jure. Namun tidak selalu harus demikian. Sebab bisa saja suatu negara, tanpa melalui pemberian pengakuan de facto, langsung memberikan pengakuan de jure. Biasanya pengakuan de jure akan diberikan apabila :
- Penguasa di negara (baru) itu benar-benar menguasai (secara formal maupun substansial) wilayah dan rakyat yang berada di bawah kekuasaannya;
- Rakyat di negara itu, sebagian besar, mengakui dan menerima penguasa (baru) itu;
- Ada kesediaan dari pihak yang akan diakui itu untuk menghormati hukum internasional.
Cara Pemberian Pengakuan
Ada dua cara pemberian pengakuan, yaitu :
- Secara tegas (expressed recognition); dan
- Secara diam-diam atau tersirat (implied recognition).
Pengakuan secara tegas maksudnya, pengakuan itu diberikan secara tegas melalui suatu pernyataan resmi. Sedangkan pengakuan secara diam-diam atau tersirat maksudnya adalah bahwa adanya pengakuan itu dapat disimpulkan dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh suatu negara (yang mengakui). Beberapa tindakan atau peristiwa yang dapat dianggap sebagai pemberian pengakuan secara diam-diam adalah :
- Pembukaan hubungan diplomatik (dengan negara yang diakui secara diam-diam itu);
- Kunjungan resmi seorang kepala negara (ke negara yang diakui secara diam-diam itu);
- Pembuatan perjanjian yang bersifat politis (dengan negara yang diakui secara diam-diam itu).
Penarikan Kembali Pengakuan
Secara umum dikatakan bahwa pengakuan diberikan harus dengan kepastian. Artinya, pihak yang memberi pengakuan terlebih dahulu harus yakin bahwa pihak yang akan diberi pengakuan itu telah benar-benar memenuhi kualifikasi sebagai pribadi internasional atau memiliki kepribadian hukum internasional (international legal personality). Sehingga, apabila pengakuan itu diberikan maka pengakuan itu akan berlaku untuk selamanya dalam pengertian selama pihak yang diakui itu tidak kehilangan kualifikasinya sebagai pribadi hukum menurut hukum internasional (Catatan: masalah pengakuan ini akan disinggung lebih jauh dalam pembahasan mengenai suksesi negara).
Namun, dalam diskursus akademik, satu pertanyaan penting kerapkali muncul yaitu apakah suatu pengakuan yang diberikan oleh suatu negara dapat ditarik kembali? Pertanyaan ini berkait dengan persoalan diperbolehkan atau tidaknya memberikan persyaratan terhadap pengakuan.
Terhadap persoalan di atas, ada perbedaan pendapat di kalangan sarjana yang dapat digolongkan ke dalam dua golongan:
- Golongan pertama adalah mereka yang berpendapat bahwa pengakuan dapat ditarik kembali jika pengakuan itu diberikan dengan syarat-syarat tertentu dan ternyata pihak yang diakui kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan itu;
- Golongan kedua adalah mereka yang berpendapat bahwa, sekalipun pengakuan diberikan dengan disertai syarat, tidak dapat ditarik kembali, sebab tidak dipenuhinya syarat itu tidak menghilang eksistensi pihak yang telah diakui tersebut.
Sesungguhnya ada pula pandangan yang menyatakan bahwa pengakuan itu tidak boleh disertai dengan persyaratan. Misalnya, persyaratan itu diberikan demi kepentingan pihak yang mengakui. Contohnya, suatu negara akan memberikan pengakuan kepada negara lain jikan negara yang disebut belakangan ini bersedia menyediakan salah satu wilayahnya sebagai pangkalan militer pihak yang hendak memberikan pengakuan.
Persyaratan semacam itu tidak dibenarkan karena dianggap sebagai pemaksaan kehendak secara sepihak. Hal demikian dipandang tidak layak karena pengakuan yang pada hakikatnya merupakan pernyataan sikap yang bersifat sepihak disertai dengan persyaratan yang membebani pihak yang hendak diberi pengakuan.
Pertimbangan lain yang tidak membenarkan pemberian persyaratan dalam memberikan pengakuan (yang berarti tidak membenarkan pula adanya penarikan kembali pengakuan) adalah bahwa memberi pengakuan itu bukanlah kewajiban yang ditentukan oleh hukum internasional. Artinya, bersedia atau tidak bersedianya suatu negara memberikan pengakuan terhadap suatu peristiwa atau fakta baru tertentu sepenuhnya berada di tangan negara itu sendiri. Dengan kata lain, apakah suatu negara akan memberikan pengakuannya atau tidak, hal itu sepenuhnya merupakan pertimbangan subjektif negara yang bersangkutan.
Persoalan lain yang timbul adalah bahwa dikarenakan tidak adanya ukuran obejktif untuk pemberian pengakuan itu maka secara akademik menjadi pertanyaan apakah pengakuan itu merupakan bagian dari atau bidang kajian hukum internasional ataukah bidang kajian dari politik internasional. Secara keilmuan, pertanyaan ini sulit dijawab karena praktiknya pengakuan itu lebih sering diberikan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan subjektif yang bersifat politis daripada hukum. Oleh sebab itulah, banyak pihak yang memandang pengakuan itu sebagai bagian dari politik internasional, bukan hukum internasional. Namun, dikarenakan pengakuan itu membawa implikasi terhadap masalah-masalah hukum internasional, hukum nasional, bahkan juga putusan-putusan badan peradilan internasional maupun nasional, bagian terbesar ahli hukum internasional menjadikan pengakuan sebagai bagian dari pembahasan hukum internasional, khususnya dalam kaitanya dengan substansi pembahasan tentang negara sebagai subjek hukum internasional.
Bentuk – Bentuk Pengakuan
Yang baru saja kita bicarakan adalah pengakuan terhadap suatu negara. Dalam praktik hubungan internasional hingga saat ini, pengakuan ternyata bukan hanya diberikan terhadap suatu negara. Ada berbagai macam bentuk pemberian pengakuan, yakni (termasuk pengakuan terhadap suatu negara):
- Pengakuan negara baru. Jelas, pengakuan ini diberikan kepada suatu negara (entah berupa pengakuan de facto maupun de jure).
- Pengakuan pemerintah baru. Dalam hal ini dipisahkan antara pengakuan terhadap negara dan pengakuan terhadap pemerintahnya (yang berkuasa). Hal ini biasanya terjadi jika corak pemerintahan yang lama dan yang baru sangaat kontras perbedaannya.
- Pengakuan sebagai pemberontak. Pengakuan ini diberikan kepada sekelompok pemberontak yang sedang melakukan pemberontakan terhadap pemerintahnya sendiri di suatu negara. Dengan memberikan pengakuan ini, bukan berarti negara yang mengakui itu berpihak kepada pemberontak. Dasar pemikiran pemberian pengakuan ini semata-mata adalah pertimbangan kemanusiaan. Sebagaimana diketahui, pemberontak lazimnya melakukan pemberontakan karena memperjuangkan suatu keyakinan politik tertentu yang berbeda dengan keyakinan politik pemerintah yang sedang berkuasa. Oleh karena itu, mereka sebenarnya bukanlah penjahat biasa. Dan itulah maksud pemberian pengakuan ini, yaitu agar pemberontak tidak diperlakukan sama dengan kriminal biasa. Namun, pengakuan ini sama sekali tidak menghalangi penguasa (pemerintah) yang sah untuk menumpas pemberontakan itu.
- Pengakuan beligerensi. Pengakuan ini mirip dengan pengakuan sebagai pemberontak. Namun, sifat pengakuan ini lebih kuat daripada pengakuan sebagai pemberontak. Pengakuan ini diberikan bilamana pemberontak itu telah demikian kuatnya sehingga seolah-olah ada dua pemerintahan yang sedang bertarung. Konsekuensi dari pemberian pengakuan ini, antara lain, beligeren dapat memasuki pelabuhan negara yang mengakui, dapat mengadakan pinjaman, dll.
- Pengakuan sebagai bangsa. Pengakuan ini diberikan kepada suatu bangsa yang sedang berada dalam tahap membentuk negara. Mereka dapat diakui sebagai subjek hukum internasional. Konsekuensi hukumnya sama dengan konsekuensi hukum pengakuan beligerensi.
- Pengakuan hak-hak teritorial dan situasi internasional baru (sesungguhnya isinya adalah “tidak mengakui hak-hak dan situasi internasional baru”). Bentuk pengakuan ini bermula dari peristiwa penyerbuan Jepang ke Cina. Peristiwanya terjadi pada tahun 1931 di mana Jepang menyerbu Manchuria, salah satu provinsi Cina, dan mendirikan negara boneka di sana (Manchukuo). Padahal Jepang adalah salah satu negara penandatangan Perjanjian Perdamaian Paris 1928 (juga dikenal sebagai Kellogg-Briand Pact atau Paris Pact), sebuah perjanjian pengakhiran perang. Dalam perjanjian itu terdapat ketentuan yang menegaskan bahwa negara-negara penanda tangan sepakat untuk menolak penggunaan perang sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Dengan demikian maka penyerbuan Jepang itu jelas bertentangan dengan perjanjian yang ikut ditandatanganinya. Oleh karena itulah, penyerbuan Jepang ke Manchuria itu diprotes keras oleh Amerika Serikat melalui menteri luar negerinya, Stimson, yang menyatakan bahwa Amerika Serikat “tidak mengakui hak-hak teritorial dan situasi internasional baru” yang ditimbulkan oleh penyerbuan itu. Inilah sebabnya pengakuan ini juga dikenal sebagai Stimson’s Doctrine of Non-Recognition.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar