OLEH YUDI LATIF
Sebagian besar ketidakmampuan kita memecahkan masalah hari ini
disebabkan ketidakmampuan kita merawat warisan terbaik dari masa lalu.
Adapun warisan termahal para pendiri bangsa yang merosot saat ini adalah
karakter. Ketika suatu golongan dibiarkan dicincang di altar kebencian
golongan lain, dan ketika bom secara teatrikal dibingkiskan ke sejumlah
alamat dengan mempermainkan nyawa manusia, kita mengalami amnesia yang
parah tentang makna kemerdekaan.
Bung Karno berkata, ”Aku, ya
Tuhan, telah Engkau beri kesempatan melihat penderitaan-penderitaan
rakyat untuk mendatangkan negara Indonesia yang merdeka itu. Aku melihat
pemimpin-pemimpin, ribuan, puluhan ribu, meringkuk di dalam penjara.
Aku melihat rakyat menderita. Aku melihat orang-orang mengorbankan ia
punya harta benda untuk tercapainya cita-cita ini. Aku melihat
orang-orang didrel mati. Aku melihat orang naik tiang penggantungan.
Bahkan aku pernah menerima surat daripada seorang Indonesia yang
keesokan harinya akan naik tiang penggantungan. Dalam surat itu dia
mengamanatkan kepada saya sebagai berikut:
’Bung Karno, besok aku akan
meninggalkan dunia ini. Lanjutkanlah perjuangan kita ini’.”
Empati
terhadap sejarah pengorbanan itulah yang membuat para pendiri bangsa
memiliki jiwa kepahlawanan. Kenanglah heroisme para anggota Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia saat berpidato dengan
menyerukan kemerdekaan dengan dasar negara yang diidealisasikan di
tengah opsir-opsir bala tentara Jepang bersenjatakan bayonet. Bung Karno
mengakui, ”Saya sadar, Saudara-saudara, bahwa ucapan yang hendak saya
ucapkan mungkin adalah satu ucapan yang berbahaya bagi diriku, sebab ini
adalah zaman perang, kita pada waktu itu di bawah kekuasaan imperialis
Jepang, tetapi juga pada waktu itu, Saudara-saudara, aku sadar akan
kewajiban seorang pemimpin. Kerjakanlah tugasmu, kerjakanlah
kewajibanmu, tanpa menghitung-hitung akan akibatnya.”
Ketika para
anggota DPR lebih sibuk mempermahal ruang kerja seraya mempermurah
nilai keseriusan penyusunan rancangan undang-undang, kita mengalami
kemerosotan begitu dalam dari jiwa pertanggungjawaban. Kenanglah rasa
tanggung jawab para pendiri bangsa! Dalam membincangkan hukum dasar,
Mohammad Yamin mengingatkan, ”Saya hanya minta perhatian betul-betul
karena yang kita bicarakan ini hak rakyat. Kalau ini tidak terang dalam
hukum dasar, maka ada kekhilafan daripada grondwet;
grondwettelijke fout, kesalahan perumusan Undang-Undang Dasar, besar
sekali dosanya buat rakyat yang menanti-nantikan hak daripada republik.”
Akutnya krisis yang kita hadapi mengisyaratkan, untuk memulihkannya perlu lebih dari sekadar politics
as usual. Kita perlu visi politik baru yang mempertimbangkan kenyataan
bahwa krisis nasional itu berakar jauh pada krisis moralitas dan etos
yang melanda jiwa bangsa. Usaha ”penyembuhan” perlu dilakukan dengan
memperkuat kembali fundamen etis dan karakter bangsa berdasarkan
falsafah dan pandangan bangsa Indonesia.
Ibarat pohon,
sejarah perkembangan bangsa yang sehat tidak bisa tercerabut dari tanah
dan akar kesejarahannya, ekosistem sosial-budaya, sistem pemaknaan, dan
pandangan dunianya tersendiri. Pancasila dirumuskan oleh pendiri bangsa
sebagai dasar dan tuntutan bernegara dengan mempertimbangkan
aspek-aspek itu, lewat usaha penggalian, penyerapan, kontekstualisasi,
rasionalisasi, dan aktualisasinya dalam rangka menopang keberlangsungan
dan kejayaan bangsa.
Sebagai warisan yang digali dan dirumuskan bersama, Bung Karno meyakini keampuhan Pancasila sebagai bintang pimpinan (leitstar). ”Kecuali Pancasila adalah satu Weltanschauung,
satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya
yakin seyakin-yakinnya bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke
hanyalah dapat bersatu padu di atas dasar Pancasila itu. Bukan saja alat
mempersatu untuk di atasnya kita letakkan negara RI, melainkan juga
pada hakikatnya satu alat mempersatu dalam perjuangan kita melenyapkan
segala penyakit yang kita lawan berpuluh-puluh tahun, yaitu penyakit
terutama sekali, imperialisme. Perjuangan suatu bangsa, perjuangan
melawan imperialisme, perjuangan mencapai kemerdekaan, perjuangan
bangsa yang membawa corak sendiri- sendiri. Tidak ada dua bangsa yang
cara berjuangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri,
mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakikatnya bangsa
sebagai individu mempunyai kepribadian sendiri. Kepribadian yang
terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya,
dalam wataknya dan sebagainya.”
Akibat
keteledoran, ketidaktaatan, dan penyelewengan atas nilai-nilai
Pancasila, terutama oleh penyelenggara negara, Pancasila sebagai bintang
pimpinan itu pun redup tertutup kabut; menimbulkan kegelapan dalam
rumah kebangsaan. Lantas anak-anak negeri berusaha mencari kunci jawaban
atas persoalan negerinya di luar ”rumah”. Seseorang bertanya, ”Apa
gerangan yang kalian cari?” Anak-anak negeri itu pun menjawab, ”kunci
rumah”. ”Memangnya di mana hilangnya kunci itu?” ”Di dalam rumah kami
sendiri”. ”Mengapa kalian cari di luar rumahmu?” ”Karena rumah kami
gelap”.
Kunci jawaban atas krisis kebangsaan itu sesungguhnya
bisa ditemukan dari dasar falsafah dan pandangan hidup Indonesia
sendiri. Yang diperlukan adalah mengikuti cara Bung Karno, menggali
kembali mutiara terpendam itu. Marilah kembali ke Pancasila!
Yudi Latif Penulis Buku Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila
Tidak ada komentar:
Posting Komentar