Selasa, 29 Maret 2011

Kembali ke Pancasila

OLEH YUDI LATIF

  
Sebagian besar ketidakmampuan kita memecahkan masalah hari ini disebabkan ketidakmampuan kita merawat warisan terbaik dari masa lalu. Adapun warisan termahal para pendiri bangsa yang merosot saat ini adalah karakter. Ketika suatu golongan dibiarkan dicincang di altar kebencian golongan lain, dan ketika bom secara teatrikal dibingkiskan ke sejumlah alamat dengan mempermainkan nyawa manusia, kita mengalami amnesia yang parah tentang makna kemerdekaan.

Bung Karno berkata, ”Aku, ya Tuhan, telah Engkau beri kesempatan melihat penderitaan-penderitaan rakyat untuk mendatangkan negara Indonesia yang merdeka itu. Aku melihat pemimpin-pemimpin, ribuan, puluhan ribu, meringkuk di dalam penjara. Aku melihat rakyat menderita. Aku melihat orang-orang mengorbankan ia punya harta benda untuk tercapainya cita-cita ini. Aku melihat orang-orang didrel mati. Aku melihat orang naik tiang penggantungan. Bahkan aku pernah menerima surat daripada seorang Indonesia yang keesokan harinya akan naik tiang penggantungan. Dalam surat itu dia mengamanatkan kepada saya sebagai berikut: 

’Bung Karno, besok aku akan meninggalkan dunia ini. Lanjutkanlah perjuangan kita ini’.”

Empati terhadap sejarah pengorbanan itulah yang membuat para pendiri bangsa memiliki jiwa kepahlawanan. Kenanglah heroisme para anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia saat berpidato dengan menyerukan kemerdekaan dengan dasar negara yang diidealisasikan di tengah opsir-opsir bala tentara Jepang bersenjatakan bayonet. Bung Karno mengakui, ”Saya sadar, Saudara-saudara, bahwa ucapan yang hendak saya ucapkan mungkin adalah satu ucapan yang berbahaya bagi diriku, sebab ini adalah zaman perang, kita pada waktu itu di bawah kekuasaan imperialis Jepang, tetapi juga pada waktu itu, Saudara-saudara, aku sadar akan kewajiban seorang pemimpin. Kerjakanlah tugasmu, kerjakanlah kewajibanmu, tanpa menghitung-hitung akan akibatnya.”

Ketika para anggota DPR lebih sibuk mempermahal ruang kerja seraya mempermurah nilai keseriusan penyusunan rancangan undang-undang, kita mengalami kemerosotan begitu dalam dari jiwa pertanggungjawaban. Kenanglah rasa tanggung jawab para pendiri bangsa! Dalam membincangkan hukum dasar, Mohammad Yamin mengingatkan, ”Saya hanya minta perhatian betul-betul karena yang kita bicarakan ini hak rakyat. Kalau ini tidak terang dalam hukum dasar, maka ada kekhilafan daripada grondwet; grondwettelijke fout, kesalahan perumusan Undang-Undang Dasar, besar sekali dosanya buat rakyat yang menanti-nantikan hak daripada republik.”

Akutnya krisis yang kita hadapi mengisyaratkan, untuk memulihkannya perlu lebih dari sekadar politics as usual. Kita perlu visi politik baru yang mempertimbangkan kenyataan bahwa krisis nasional itu berakar jauh pada krisis moralitas dan etos yang melanda jiwa bangsa. Usaha ”penyembuhan” perlu dilakukan dengan memperkuat kembali fundamen etis dan karakter bangsa berdasarkan falsafah dan pandangan bangsa Indonesia.

Ibarat pohon, sejarah perkembangan bangsa yang sehat tidak bisa tercerabut dari tanah dan akar kesejarahannya, ekosistem sosial-budaya, sistem pemaknaan, dan pandangan dunianya tersendiri. Pancasila dirumuskan oleh pendiri bangsa sebagai dasar dan tuntutan bernegara dengan mempertimbangkan aspek-aspek itu, lewat usaha penggalian, penyerapan, kontekstualisasi, rasionalisasi, dan aktualisasinya dalam rangka menopang keberlangsungan dan kejayaan bangsa.

Sebagai warisan yang digali dan dirumuskan bersama, Bung Karno meyakini keampuhan Pancasila sebagai bintang pimpinan (leitstar). ”Kecuali Pancasila adalah satu Weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke hanyalah dapat bersatu padu di atas dasar Pancasila itu. Bukan saja alat mempersatu untuk di atasnya kita letakkan negara RI, melainkan juga pada hakikatnya satu alat mempersatu dalam perjuangan kita melenyapkan segala penyakit yang kita lawan berpuluh-puluh tahun, yaitu penyakit terutama sekali, imperialisme. Perjuangan suatu bangsa, perjuangan melawan imperialisme, perjuangan mencapai kemerdekaan, perjuangan bangsa yang membawa corak sendiri- sendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakikatnya bangsa sebagai individu mempunyai kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya dan sebagainya.”

Akibat keteledoran, ketidaktaatan, dan penyelewengan atas nilai-nilai Pancasila, terutama oleh penyelenggara negara, Pancasila sebagai bintang pimpinan itu pun redup tertutup kabut; menimbulkan kegelapan dalam rumah kebangsaan. Lantas anak-anak negeri berusaha mencari kunci jawaban atas persoalan negerinya di luar ”rumah”. Seseorang bertanya, ”Apa gerangan yang kalian cari?” Anak-anak negeri itu pun menjawab, ”kunci rumah”. ”Memangnya di mana hilangnya kunci itu?” ”Di dalam rumah kami sendiri”. ”Mengapa kalian cari di luar rumahmu?” ”Karena rumah kami gelap”.

Kunci jawaban atas krisis kebangsaan itu sesungguhnya bisa ditemukan dari dasar falsafah dan pandangan hidup Indonesia sendiri. Yang diperlukan adalah mengikuti cara Bung Karno, menggali kembali mutiara terpendam itu. Marilah kembali ke Pancasila!

Yudi Latif Penulis Buku Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila

Apa Sih Tugas Mahasiswa Hari Ini?


Sebelum melihat apa yang harus menjadi tugas mahasiswa pada hari ini, kita seharusnya melihat ke belakang. Kita melihat perjuangan mahasiswa yang telah dilakukan mahasiswa pendahulu kita. 

Kita dapat melihat bahwa adanya perubahan peradaban di dunia oleh dengan sebuah gerakan yaitu dikenal dengan GERAKAN MAHASISWA yaitu gerakan orang terpelajar, kita harus melihat sejarah gerakan mahasiswa sebelum kita melakukan apa yang seharusnya kita lakuakan untuk bangsa ini. 

Sejarah sudah membuktikan bahwa pergerakan mahasiswa telah mengubah rezim yang dikuasai oleh diktator kea rah yang lebih baik. Kita bisa melihatnya pada tahun 1966 dengan diserukannya TRITURA oleh mahasiswa kepada pemerintah Indonesia pada saat itu, dan juga jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 oleh gerakan mahasiswa dan masih banyak lagi sejarah-sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia.

Itu hanya sebagian sejarah gerakan mahasiswa di negara kita. Mari kita menoleh sejenak ke belakang bagaimana perjuangan mahasiswa pendahulu kita dalam membela nasib rakyat kita yang dijajah oleh penguasa baik dari negara luar maupun dari negara kita sendiri.

Pada tahun 1908, kita mengenal ada sebuah organisasi mahasiswa/terpelajar dari lembaga pendidikan STOVIA bernama Boedi Oetomo, organisasi ini merupakan sebuah wadah refleksi kritis dan keresahan intelektual terlepas dari primordialisme Jawa yang ditampilkannya. Oraganisasi ini merupakan awal dari perjuangan mahasiswa Indonesia.

Pada tahun 1928 dikenal adanya Sumpah Pemuda, ini merupakan proses kebangkitan dari mahasiswa Indonesia, semua mahasiswa dari seluruh Nusantara tidak berjuang untuk suku, agama, ras maupun golongan mereka masing-masing melainkan berjuang demi satu bangsa yaitu bangsa Indonesia.

Pada tahun 1945 dalam perkembangan berikutnya dari dinamika pergerakan nasional yang bersejerah dalam kasus kelompok bawah tanah yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok.

Pada tahun 1966 pemuda dan mahasiswa banyak terlibat dalam mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan nama Angkatan ’66 yang menjadi awal kebangkitan gerakan secara nasional yang sebelumnya gerakan masih bersifat kedaerahan. Gerakan ini menyerukan Tiga Tuntutan Rakyat yang kita kenal TRITURA.

Pada tahun 1974 para gerakan mahasiswa di Jakarta menyerukan sebuah isu “ganyang korupsi’ sebagai salah satu tuntutan “Tritura Baru” disamping dua tuntutan lainnya (Bubarkan Asisten Presiden dan Turunkan Harga). Gerakan ini berbuntut dihapuskannya Asisten Pribadi Presiden.

Pada tahun 1978 adalah sebuah dasar sejarah, yakni tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional. Berawal dari tahun 1977 yang engkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional.

Pada tahun 1998 merupakan gerakan menuntut reformasi dan dihapuskannya "KKN" (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada 1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif yang menewaskan aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini di antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung.

Di atas saya sudah paparkan sejarah singkat pergerakan mahasiswa Indonesia. Setelah melihat sejarah singkat tersebut kita bisa melihat begitu besar perjuangan para mahasiswa pendahulu kita. Dari atas apa yang harus kita lakukan untuk sebuah bangsa ini, bangsa Indonesia yang kita cintai.

Banyak sekali pertanyaan dalam benak kita, apa yang harus kita lakukan, bagaimana caranya dan lainya. Pertanyaan itu kerap menggangu kita apa yang kita lakukan tersebut diterima atau bahkan ditolak oleh masyarakat.

Di sini saya akan mencoba tugas apa yang harus kita lakukan sebagai mahasiswa supaya kita tidak kehilangan roh dan esensi kita sebagai garda terdepan bangsa. Masyarakat kadang-kadang cenderung bosan dan apatis akan pola tingkah laku mahasiswa yang demonstrasi yang turun ke jalan yang ramai berteriak di jalanan. Contohnya saja di Jakarta, banyak demonstran (biasanya mahasiswa) membuat jalanan macet. Kendaraan pun berjalan lambat, padat dan merayap. Sehingga banyak para masyarakat yang mengeluh akan hal itu khususnya para sopir angkot yang akan terhambat kejaran setorannya. Di tulisan ini saya akan menjelaskan ada 4 (empat) hal yang akan saya paparkan apa yang menjadi tugas mahasiswa, diantaranya:

1.      Tugas moral
Mahasiswa yang dalam kehidupanya tidak dapat memberikan contoh dan keteladanan yang baik berarti telah meninggalkan amanah dan tanggung jawab sebagai kaum terpelajar. Jika hari ini kegiatan mahasiswa berorientasi pada hedonisme (hura-hura dan kesenanggan) maka berarti telah berada persimpangan jalan . Jika mahasiswa hari ini lebih suka mengisi waktu luang mereka dengan agenda rutin pacaran tanpa tahu dan mau ambil tahu tentang peruban di negeri ini, jika hari ini mahasiswa lebih suka dengan kegiatan festival musik dan kompetisi (entertaiment) dengan alasan kreatifitas, dibanding memperhatikan dan memperbaiki kondisi masyarakat dan mengalihkan kreatifitasnya pada hal-hal yang lebih ilmiah dan menyentuh kerakyat maka mahasiswa semacam ini adalah potret “generasi yang hilang “yaitu generasi yang terlena dan lupa akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang pemuda dan mahasiswa.

2.      Tugas sosial
Mahasiswa harus menumbuhkan jiwa-jiwa sosial yang dalam atau dengan kata lain solidaritas sosial. Solidaritas yang tidak dibatasi oleh sekat sekat kelompok, namun solidaritas sosial yang universal secara menyeluruh serta dapat melepaskan keangkuhan dan kesombongan. Mahasiswa tidak bisa melihat penderitaan orang lain, tidak bisa melihat penderitan rakyat, tidak bisa melihat adanya kaum tertindas dan di biarkan begitu saja. Mahasiswa dengan sifat kasih dan sayangnya turun ke jalan dan memberikan bantuan baik moral maupun materil bagi siapa saja yang memerlukannya.

3.      Tugas akademik
Sesibuk apapun mahasiswa, turun kejalan, turun ke rakyat dengan aksi sosialnya, sebanyak apapun agenda aktivitasnya jangan sampai membuat mahasiswa itu lupa bahwa adalah insan akademik. Mahasiswa dengan segala aktivitasnya harus tetap menjaga kuliahnya. Setiap orang tua pasti ingin anaknya selesai kuliah dan menjadi orang yang berhasil. Maka sebagai seorang anak berusahalah semaksimal mungkin untuk dapat mewujudkan keinginan itu, untuk mengukir masa depan yang cerah.
Peran yang satu ini teramat sangat penting bagi kita dan inilah yang membedakan kita dengan komonitas yang lain. Peran ini menjadi simbol dan miniatur kesuksesan kita dalam menjaga keseimbangan dan memajukan diri kita. Jika memang kegalan akademik telah terjadi maka segeralah bangkit, ”nasi sudah jadi bubur maka bagaimana sekarang kita membuat bubur itu menjadi “ bubur ayam spesial “. Artinya jika sudah terlanjur gagal maka tetaplah bangkit seta mancari solusi alternatif untuk mengembangkan kemampuan diri meraih masa depan yang cerah dunia dan akhirat.

4.      Tugas politik
Peran politik adalah peran yang paling berbahaya karena disini mahasiswa berfungsi sebagai presseur group (group penekan) bagi pemerintah yang zalim/otoriter. Oleh karena itu pemerintah yang zalim merancang sedemikian rupa agar mahasiswa tidak mengambil peran yang satu ini. Pada masa orde baru di mana daya kritis rakyat itu di pasung, siapa yang berbeda pemikiran dengan pemerintah langsung di cap sebagai makar dan kejahatan terhadap negara. Pemerintahan Orba tidak segan-segan membumi hanguskan setiap orang-orang yang kritis dan berseberangan dengan kebijakan pemerintah.

Mahasiswa adalah kaum terpelajar dinamis yang penuh dengan kreativitas. Mahasiswa adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari rakyat. Sekarang mari kita pertanyaan pada diri kita yang memegang label Mahasiswa, sudah seberapa jauh kita mengambil peran dalam diri kita dan lingkungan pada hari ini?